Kasus Intan Jaya Sengaja di Politisi Agar Dibahas Saat Sidang PBB

JAYAPURA-NUSANTARAPOST.ID-Kapolda Papua, Irjen Pol. Paulus Waterpauw menyebutkan kasus penembakan yang diduga dilakukan oleh KKB terhadap Seorang Pendeta di Intan Jaya, sengaja di politisi oleh beberapa oknum untuk mengarah pada sidang PPB nantinya.

“Ini propaganda yang dilakukan mengingat sudah mau sidang PBB, dan kita paham itu. Jadi sejumlah pihak mencoba mendramatisasi kejadian itu,” tegasnya ketika di wawancarai, Di Mapolda Papua, Selasa 22 September 2020.

Kapolda pun menyayangkan beberapa komentar yang viral baik di Media masa maupun sosial yang menuding aparatlah pelakunya, padahal diketahui wilayah tersebut merupakan basis dari KKB.

“Sangat konyol apabila anggota kami yang melakukan tugas teritorial, melakukan hal itu dan itu sangat konyol, pasti itu dari mereka karena ada lima kelompok KKB di situ, namun semua kepastian itu  akan dilakukan dengan olah tKP dengan mengumpulkan alat dan bukti-bukti,” tegasnya.

Ia pun dengan tegas meminta kepada semua pihak untuk tidak berkomentar yang menuding Aparatlah pelakunya.

“Para tokoh yang mengaku sebagai pemimpin ini diam saja,  kalau tidak tau masalah, jangan mengaburkan permasalahan yang ada, ini saya menghimbau  kepada semua pihak untuk prihatin saja, tapi jangan berkomentar atau menuding. Kita masih akan lakukan olah TKP guna mengumpulkan alat bukti,” tegasnya. (redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar

  1. Kematian Pendeta Yeremia: Cari Pembunuh Tentara, Warga Ditembak
    Reporter: Adi Briantika
    22 September 2020
    Kematian Pendeta Yeremia: Cari Pembunuh Tentara, Warga Ditembak
    Nyawa Pendeta Yeremia habis di tangan tentara, kata gereja. Tapi, TNI menuding itu ulah OPM. Desakan menginvestigasi kasus secara independen pun muncul.
    Pendeta Yeremia Zanambani, Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Hitadipa di Intan Jaya, tewas ditembak pada Sabtu sore, 19 September 2020. Menurut lima sumber warga sipil yang diwawancaraiTirto—tiga di distrik tersebut, satu di Nabire, satu di Jakarta—pendeta Yeremia ditembak oleh Tentara Nasional Indonesia.

    Bernard, yang minta namanya disamarkan demi alasan keamanan, menceritakan penembakan terhadap pendeta Yeremia bermula dari penyisiran pasukan TNI ke Distrik Hitadipa sebagai aksi balasan setelah Pratu Dwi Akbar dari Yonif 711/RKS/Brigif 22/OTA, tewas ditembak oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka. Penembakan terhadap Pratu Dwi terjadi di Kali Hiabu pada 17 September. Aparat TNI menuding warga menyembunyikan anggota OPM. (Dalam istilah TNI-Polri, gerilyawan bersenjata Papua disebut ‘Kelompok Kriminal Bersenjata’).

    Tentara-tentara dari Indonesia itu menyebut masyarakat “macam domba” karena melindungi anggota OPM, sementara “dengan kami, kalian seperti singa,” ujar Bernard, mengisahkan ulang kepada Tirto. Ia juga bercerita bahwa aparat TNI meminta warga yang dituding melindungi anggota OPM “harus angkat kaki dari Hitadipa.”

    Pada Sabtu, 19 September, anggota TNI berjaga-jaga di sekitar Pos Koramil Persiapan Distrik Hitadipa. Mereka menduduki area Sekolah Satu Atap (STP) Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja Injili Hitadipa. Mereka menyisiri kampung. Dua dari empat rumah dinas kesehatan di seberang kali, yang ditempati warga sipil, dibakar tentara, cerita Bernard. Tak ada korban jiwa.

    Warga Hitadipa mengungsi ke distrik terdekat termasuk ke Sugapa, ibu kota Kabupaten Intan Jaya, kawasan di lereng pegunungan tengah Papua. Mereka takut menjadi korban perseteruan TNI-OPM. Kampung nyaris kosong. Hanya beberapa orang yang masih menetap di Hitadipa, ujar Bernard.

    Di antara warga yang enggan menyelamatkan diri itu adalah pasangan Yeremia Zanambani dan Miryam Zanambani. Yeremia, 63 tahun, adalah seorang pendeta yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Moni, suku setempat; sementara Miryam, 55 tahun, adalah seorang guru.

    Pasangan itu melakoni aktivitas seperti biasa. Sabtu sekitar pukul 4 sore, mereka berangkat ke kandang babi berjarak sekitar 300 meter dari rumah; lokasinya agak ke bukit. Ini rutinitas harian mereka, termasuk saat pagi hari. Di sekitar situ, dekat pos jaga, tentara Indonesia mendirikan tenda.

    Yeremia merasa lapar ketika petang. Ia memutuskan membakar ubi sebelum pulang, sementara Miryam pulang ke rumah.

    Miryam tiba di rumah sekitar pukul 17.30 waktu setempat. Saat itulah ia mendengar bunyi tembakan dari arah kandang babi. Ia khawatir. Ia mengabarkan ke warga yang tersisa di kampung untuk menengok suaminya. Tapi tak ada warga yang berani.

    Pukul 6 sore, Miryam nekat balik ke kandang babi. Di sana ia melihat suaminya sudah tertembak.

    “Dia (Yeremia) masih hidup dan bilang ke istrinya, ‘Mama, sa su ditembak’,” ujar pendeta Hersel, yang minta namanya disamarkan demi alasan keamanan, kepada Tirto, Senin kemarin. Yeremia meminta maaf karena mengabaikan saran istrinya agar cepat pulang.

    Yeremia meminta Miryam membalikkan badannya. Bagian belakang badannya yang terluka menghadap ke atas. Lengan kiri Yeremia ditembus peluru. Menurut pendeta Hersel, tangan itu “patah dan menggantung.”

    Sementara menurut Goldias, juga bukan nama sebenarnya, saudara keluarga Zanambani, Yeremia ditusuk di bagian leher belakang dan bahu; bagian paha yang ditembak.

    Yeremia sempat menceritakan kepada istrinya bahwa ia didatangi penembak. Ia menduga penembak itu TNI. TNI itu menuduh Yeremia yang menghabisi nyawa rekannya. Yeremia berkata ia tak pernah membunuh siapa pun.

    Malam itu, Yeremia meyakinkan istrinya untuk pulang. Ia minta istrinya kembali menjemput

    Pada Minggu pagi, 20 September, warga meminta izin ke komandan pos jaga TNI untuk mengevakuasi Yeremia. Hanya lima warga yang diziinkan ke lokasi kejadian. Warga memutuskan yang menjemput adalah lima pendeta.

    Saat itu Yeremia sudah meninggal. Menurut cerita pendeta Hersel, pada malam hari Yeremia mengerang sekarat di kandang babi miliknya, ada seorang bapak tua dan dua mama tua yang menemaninya tidur. “Bapak jam 12 malam meninggal,” kata Hersel. Saksi-saksi di dekat peristiwa penembakan menyebut “Bapak pendeta Yeremia” ditembak oleh TNI.

    Pukul 8-10 pagi, kelima pendeta mempersiapkan segala kebutuhan penguburan. Sejam berikutnya Yeremia disemayamkan di pemakaman setempat.

    Setelah mengurus Yeremia, lima pendeta sempat duduk di sebuah lapangan yang dikelilingi tentara Indonesia. Karena takut, mereka memutuskan ke STP Hitadipa lalu turut mengungsi ke kampung terdekat bersama warga.

    Ketua Umum Badan Pengurus Pusat GKII Daniel Ronda mengatakan “heran orang sebaik ini jadi korban,” ketika dihubungi reporter Tirto, Senin kemarin. Ia mengatakan aparat keamanan Indonesia tak mampu membedakan mana sipil mana yang bukan.

    Dia meminta Presiden Joko Widodo memulihkan keamanan dan kenyamanan umat di sana. “Ini bukan urusan politik, tapi kemanusiaan,” katanya.

    Baku Tuding TNI-OPM

    Setelah kejadian ini, baik OPM dan TNI-Polri baku tuding siapa yang menewaskan sang pendeta.

    Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom berkata “yang menembak pendeta di Intan Jaya adalah TNI-Polri,” ketika dihubungi reporter Tirto, Minggu kemarin.

    Baca juga: Mengurut Kasus Penganiayaan Warga oleh TNI di Tambrauw Papua Barat

    Tapi, pernyataan sebaliknya disampaikan aparat keamanan Indonesia. Kapen Kogabwilhan III Kol Czi IGN Suriastawa berkata pendeta Yeremia ditembak ‘KKB’ (istilah tentara menyebut OPM). Ia menuding penembakan terhadap pendeta sebagai settingan menjelang Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 22-29 September.

    “Gerombolan itu kembali menebar fitnah, mengatakan TNI pelaku penembakan. Mereka yang putarbalikkan TNI menembak pendeta,” kata dia, Minggu kemarin.

    Ketika Tirto bertanya apa bukti TNI sehingga meyakini kelompok bersenjata Papua yang membunuh Yeremia, Suriastawa hanya menjawab “masih diinvestigasi oleh Kodam” tanpa menjelaskan lebih lanjut.

    Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal berkata pernyataan OPM itu bohong. Ia mengklaim aparat keamanan Indonesia melindungi masyarakat dari “kebiadaban kelompok bersenjata.”

    Sebby Sambom menanggapi kelompoknya dikambinghitamkan oleh aparat kemananan Indonesia dengan menyebut “TNI-Polri adalah penipu ulung.”